Jumat, 31 Januari 2014

Poso-poso (A.Malam Terakhir)



A.Malam terakhir
Azan isya telah usai, sang bulan purnama pun telah muncul di atas gunung-gunung yang mengelilingi kampung ini memberikan sinar sejuknya sehingga takperlu untuk menyalakan obor di depan rumah-rumah. Angin sesekali berhembus kencang meniup daun-daun pohon kelapa yang seakan menari-menari yang berada tepat di atas rumah panggung yang sederhana. Hawa dingin terasa mulai menyelimuti, burung hantupun ikut menyaingi suara jangkrik yang memperkental suasana kampung.

Terdengar suara riuh segerombolan anak-anak yang pulang mengaji, aku tak terlalu memperhatikan mereka lewat di depanku, aku hanya diam terpaku di dekat perapian di pinggir jalan setapak yang berkelok-kelok. Aku sedang menunggu sahabatku Anwar, kulihat pak tua yang ada di dekatku sudah menghabiskan 2 batang rokok pusuknya dan telah jenuhlah kiranya hatiku.

Tak lama berselang sahabatku telah datang, kami langsung berjalan ke arah sebuah tempat yang bernama teras biru. Teras biru adalah teras sebuah rumah yang di tinggal pemiliknya ke Tanah Doli, teras biru menjadi tempat pertemuan pemuda dan pemudi. Tidak jarang di situ terjadi perkelahian dengan alasan yang tidak jelas, terkadang karena memperebutkan wanita, mabok mungkin itulah kehidupan anak muda.

Aku dan sahabatku menaiki tangga teras biru, masih terlihat sepi baru satu orang yang duduk di bangku bambu sebelah sudut, kelihatannya dia sedang menunggu seseorang.Aku tak begitu mengenal wajah pemuda itu karena sinar bulan sedang di tutup awan, kami duduk di bangku bambuyang sudah mulai reot.Anwar mengeluarkan sebungkus rokok dan menawarkannya pada pemuda yang duduk di sudut itu, mereka mulai menghembuskan asap rokok dari mulut dan hidung seperti cerobong asap.Dari suaranya aku kenal pemuda itu ya.. dia adalah Ibrahim pemuda yang lebih tua dariku dan berbadan lebih kecil.

Kami mulai berbincang-bincang tentang kehidupan anak muda mulai dari usaha, pertanian, percintaan dan perkelahian, ketika sedang asik asik ngobrol ada dua wanita berdiri di pinggir jalan dan memanggil nama Ibrahim, dia langsung pergi dengan semangat.

“kejolo te lae!!..” dia pamit padaku, sepertinya wanita itulah yang di tunggunya.

Ketika dia menghampiri dua wanita itu seorang dari mereka pergi dengan berlari-lari kecil.Tak lama kemudian berdatanganlah pemuda dan pemudi ke Teras Biru ini, karena suasana semakin ramai aku mulai mempertanyakan  kebenaran janji pertemuan dengan wanita idaman pada anwar,

Aku : “Botul dei ro alai dongan War?!..”aku bertanya.
Anwar :“Anggo janjina bah isondei Suf,…au parjolo ma au mulak”
Aku : “Aso!!?.”
Anwar : “Ima..”

diapun terlihat sudah bosan berada di teras itu karena kakaknya pun sudah ada di tempat itu yang sedang bersenda gurau dengan teman-temannya.

“Suf…sanga cogot doma daboih…parjolo ma au mulak dah!!..” Anwarpun turun dari teras, dia terpaksa meninggalkanku dengan berat hati karena segan dengan kakaknya Saimah.

Bulan terlihat sudah beranjak naik dan Anwarpun telah pergi meninggalkanku di teras biru ini, para wanita yang tadi jauh duduk kini sudah mulai mendekatiku, wangi-wangian tersebak dari selendang yang mereka kenakan.Mereka sudah mengelilingiku seorang dari mereka menarik tanganku dan menyuruhku duduk di antara mereka, sebuah gitar di berikan seorang wanita yang lebih manis di antara mereka.

Wanita1 : “Marende maho jolo dongan..malungun iba mambege soramu..”
Aku : “Hmm..namaloani kakak on noneh…”
Wanita 2 : “Baen majolo dabonggik..!!”
Akupun mulai memetik gitar dan bernyanyi :

Inda arani ho si boru tulang
Tai botul do di rohaon adong kasih sayang
Dompak marmayam pe ho di anggunan mau pasahat ma di tulang..2x
                   Ho madah siboru nauli na denggan
                   Nau pasahat-sahat dompak di anggunan
                   Molo adong di hita pardomuan
                   Sonang ni roha oih boru lintang.. 2x
O boru ni tulang parmaen ni damang
Ligi ma di rohaon adong kasih sayang
Molo na ragu do rohamu dongan bola ate-ate ligima di bagasan….2x
(bagi yang ingin mendengarkan lagunya klik video di bawah ini)


Belum selesai aku bernyanyi wanita yang di tunggu-tunggu sudah datang dan berdiri di seberang jalan di depan Teras Biru, aku langsung memberikan gitar pada wanita yang duduk di sampingku dan bergegas menuruni tangga.

Wanita3 : “Hakan soni maho teh..!!”
Wanita1 : “Padiarma soni baenna ro dei gandaknia..!!”
Wanita2 : “I ida do gandaknia ti…”
Wanita5 : “Kan mei I ida gandak ni si Anwar dei,..i Halimah dei gandaknia!!.”
Wanita2 : “Bo aso mulakki Anwar??!!..
Wanita5 : “Baenna roi roangku kakaknia kuson,..”
Aku mendekati dua wanita yang kelihatannya sedang terengah-engah, Halimah sedang merintih kesakitan.Ida mendekatiku.
Ida : “Bang Suf jia ma bang Anwar??!!..”
Aku : “Dung mulak kia..”
Ida :”Hah!!? Sondia do??!..”
Aku : “Baenna roi kakakniangkin mulakia,..cogot domai ningia!”
Ida : “Soni ajo dei abangi wida..” ida terlihat kecewa.
Aku : “Amawa dei I Halimah..??!” aku sedikit berbisik.
Ida : “Tahop ia angkin dompak mijur ngun tangga ni alai I, tong got cepatannia na ma bar-bar dei tot nia indari baenna itahan-tahania dei.”
Aku : “Bo sondia doma indari..?!”
Ida : “Kema humu mangecek..”
Aku : “Bo ho..?!”
Ida : “Upainte ma humu di Teras Biru on..ulang malolot tu humu bah!.”
Aku : “Olo..”
Aku dan Halimah berjalan menuju sebuah tempat dimana tempat itu adalah saksi cinta kami, ya cinta pemuda yang hanya mengenal keindahan dan sedikit tangis didalamnya.Kami duduk bersampingan di atas sebuah batu besar di bawah pohon nangka yang rimbun.Dia selalu memalingkan wajahnya ketika kupandang wajah yang biasanya terlihat manis, namun malam ini tidak, aku melihat tetesan air mata di pipinya meski samar cahaya bulan terpantul di aliran air matanya.
Aku : “Mancit pe lakna patmuidah..?!”
Halimah : “Inda be bang,..”
Aku : “Hah?!!..bo aso tangis pe anggik!?” aku sedikit kesal.
Halimah : “Isangka abang dei gara-gara ni patkuon so tangis au..?!”
Aku : “Gara-gara ni aha do?!!”
Halimah :”Adong na lobi ancit bang! Namanyiak ate-ate niba ibaenca!!”
Aku : “Olo aha?!!..lailalah, maolna dida dongan lalaho mandokonca”
Halimah terdiam sejenak, air matanya menetes lagi dan dia menatapku dengan sorot mata yang pilu.Dia mengambil nafas panjang dan menghembuskannya berlahan.
Halimah : “Isuru alak umak au bang mangaranto!!..”

Mendengar perkataan Halimah aku merasa dunia berhenti berputar, aku terdiam dan tak tau harus bilang apa, seakan aku takpercaya.Detak jantungku menggebu-gebu seakan genderang perang, ku coba untuk tak menitikkan air mata meski perih menyayat jiwa.Ini bukanlah pertama kali sakit di hati dalam cinta, namun ini terasa lebih dahsyat..lebih pilu.Ku coba tenangkan diri dengan mengambil nafas panjang dan mengeluarkannya secara berlahan, sebelum perih menyayat hatiku lagi aku memegang tangannya.

Aku : “Madung mei,…ulangko tangis be pala na soni ma ning inanta inda namawai anggik e!!..upainte pe anggik mulak ngun pandaraman!!”ternyata aku tak kuat dan meneteskan air mata.

Halimah : “Marjanji ma abang idakan na maninggalkon au..anggo au bang indakan na utinggalkoni abang bope sondiana!!” dia tersedu-sedu.
Aku memeluknya dari samping dan ku letakkan kepalanya di dadaku, kubiarkan dia menangis sepuasnya dalam dekapanku.Tak terasa rembulan sudah tepat di atas kepala, aku menyuruhnya bangkit.

Aku : “Jonjong maho anggik e so mulak kita!, mulak ki ida non!..ku jia lakna anggik nagot langkai?! “
Halimah : “Tu tano doli bang!..”
Aku : “Oh..inda namawai dabo anggik e,..pala madung lalu anggik di adu ulangko lupa mangirim surat jiabang dah!!, pala adong epeng ni abang ro pe abang sasakali!”aku menghiburnya.
Halimah : “Olo bang.. utulis pe surat naron borngin di abang so ulehen cogot di si ida dohot salendang dah bang!!..”
Aku : “Olo anggikku sayang!!”

Kamipun meninggalkan tempat itu dengan berat hati….

***