A.Malam terakhir
Azan isya telah usai,
sang bulan purnama pun telah muncul di atas gunung-gunung yang mengelilingi
kampung ini memberikan sinar sejuknya sehingga takperlu untuk menyalakan obor
di depan rumah-rumah. Angin sesekali berhembus kencang meniup daun-daun pohon kelapa
yang seakan menari-menari yang berada tepat di atas rumah panggung yang
sederhana. Hawa dingin terasa mulai menyelimuti, burung hantupun ikut menyaingi
suara jangkrik yang memperkental suasana kampung.
Terdengar suara riuh
segerombolan anak-anak yang pulang mengaji, aku tak terlalu memperhatikan
mereka lewat di depanku, aku hanya diam terpaku di dekat perapian di pinggir
jalan setapak yang berkelok-kelok. Aku sedang menunggu sahabatku Anwar, kulihat
pak tua yang ada di dekatku sudah menghabiskan 2 batang rokok pusuknya dan
telah jenuhlah kiranya hatiku.
Tak lama berselang
sahabatku telah datang, kami langsung berjalan ke arah sebuah tempat yang
bernama teras biru. Teras biru adalah teras sebuah rumah yang di tinggal
pemiliknya ke Tanah Doli, teras biru menjadi tempat pertemuan pemuda dan pemudi.
Tidak jarang di situ terjadi perkelahian dengan alasan yang tidak jelas,
terkadang karena memperebutkan wanita, mabok mungkin itulah kehidupan anak
muda.
Aku dan sahabatku
menaiki tangga teras biru, masih terlihat sepi baru satu orang yang duduk di
bangku bambu sebelah sudut, kelihatannya dia sedang menunggu seseorang.Aku tak
begitu mengenal wajah pemuda itu karena sinar bulan sedang di tutup awan, kami
duduk di bangku bambuyang sudah mulai reot.Anwar mengeluarkan sebungkus rokok
dan menawarkannya pada pemuda yang duduk di sudut itu, mereka mulai
menghembuskan asap rokok dari mulut dan hidung seperti cerobong asap.Dari
suaranya aku kenal pemuda itu ya.. dia adalah Ibrahim pemuda yang lebih tua
dariku dan berbadan lebih kecil.
Kami mulai
berbincang-bincang tentang kehidupan anak muda mulai dari usaha, pertanian,
percintaan dan perkelahian, ketika sedang asik asik ngobrol ada dua wanita
berdiri di pinggir jalan dan memanggil nama Ibrahim, dia langsung pergi dengan
semangat.
“kejolo te lae!!..” dia
pamit padaku, sepertinya wanita itulah yang di tunggunya.
Ketika dia menghampiri
dua wanita itu seorang dari mereka pergi dengan berlari-lari kecil.Tak lama
kemudian berdatanganlah pemuda dan pemudi ke Teras Biru ini, karena suasana
semakin ramai aku mulai mempertanyakan
kebenaran janji pertemuan dengan wanita idaman pada anwar,
Aku : “Botul dei ro
alai dongan War?!..”aku bertanya.
Anwar :“Anggo janjina
bah isondei Suf,…au parjolo ma au mulak”
Aku : “Aso!!?.”
Anwar : “Ima..”
diapun terlihat sudah bosan berada di teras
itu karena kakaknya pun sudah ada di tempat itu yang sedang bersenda gurau
dengan teman-temannya.
“Suf…sanga cogot doma
daboih…parjolo ma au mulak dah!!..” Anwarpun turun dari teras, dia terpaksa
meninggalkanku dengan berat hati karena segan dengan kakaknya Saimah.
Bulan terlihat sudah
beranjak naik dan Anwarpun telah pergi meninggalkanku di teras biru ini, para
wanita yang tadi jauh duduk kini sudah mulai mendekatiku, wangi-wangian
tersebak dari selendang yang mereka kenakan.Mereka sudah mengelilingiku seorang
dari mereka menarik tanganku dan menyuruhku duduk di antara mereka, sebuah
gitar di berikan seorang wanita yang lebih manis di antara mereka.
Wanita1 : “Marende maho
jolo dongan..malungun iba mambege soramu..”
Aku : “Hmm..namaloani
kakak on noneh…”
Wanita 2 : “Baen majolo
dabonggik..!!”
Akupun mulai memetik
gitar dan bernyanyi :
Inda
arani ho si boru tulang
Tai
botul do di rohaon adong kasih sayang
Dompak
marmayam pe ho di anggunan mau pasahat ma di tulang..2x
Ho madah siboru nauli na
denggan
Nau pasahat-sahat dompak di
anggunan
Molo adong di hita pardomuan
Sonang ni roha oih boru
lintang.. 2x
O
boru ni tulang parmaen ni damang
Ligi
ma di rohaon adong kasih sayang
Molo
na ragu do rohamu dongan bola ate-ate ligima di bagasan….2x
(bagi yang ingin mendengarkan lagunya klik video di bawah ini)
(bagi yang ingin mendengarkan lagunya klik video di bawah ini)
Belum selesai aku bernyanyi wanita yang di tunggu-tunggu
sudah datang dan berdiri di seberang jalan di depan Teras Biru, aku langsung
memberikan gitar pada wanita yang duduk di sampingku dan bergegas menuruni
tangga.
Wanita3 : “Hakan soni maho teh..!!”
Wanita1 : “Padiarma soni baenna ro dei gandaknia..!!”
Wanita2 : “I ida do gandaknia ti…”
Wanita5 : “Kan mei I ida gandak ni si Anwar dei,..i
Halimah dei gandaknia!!.”
Wanita2 : “Bo aso mulakki Anwar??!!..
Wanita5 : “Baenna roi roangku kakaknia kuson,..”
Aku mendekati dua wanita yang kelihatannya sedang
terengah-engah, Halimah sedang merintih kesakitan.Ida mendekatiku.
Ida : “Bang Suf jia ma bang Anwar??!!..”
Aku : “Dung mulak kia..”
Ida :”Hah!!? Sondia do??!..”
Aku : “Baenna roi kakakniangkin mulakia,..cogot
domai ningia!”
Ida : “Soni ajo dei abangi wida..” ida terlihat
kecewa.
Aku : “Amawa dei I Halimah..??!” aku sedikit
berbisik.
Ida : “Tahop ia angkin dompak mijur ngun tangga ni
alai I, tong got cepatannia na ma bar-bar dei tot nia indari baenna
itahan-tahania dei.”
Aku : “Bo sondia doma indari..?!”
Ida : “Kema humu mangecek..”
Aku : “Bo ho..?!”
Ida : “Upainte ma humu di Teras Biru on..ulang
malolot tu humu bah!.”
Aku : “Olo..”
Aku dan Halimah berjalan
menuju sebuah tempat dimana tempat itu adalah saksi cinta kami, ya cinta pemuda
yang hanya mengenal keindahan dan sedikit tangis didalamnya.Kami duduk
bersampingan di atas sebuah batu besar di bawah pohon nangka yang rimbun.Dia
selalu memalingkan wajahnya ketika kupandang wajah yang biasanya terlihat
manis, namun malam ini tidak, aku melihat tetesan air mata di pipinya meski
samar cahaya bulan terpantul di aliran air matanya.
Aku : “Mancit pe lakna
patmuidah..?!”
Halimah : “Inda be
bang,..”
Aku : “Hah?!!..bo aso
tangis pe anggik!?” aku sedikit kesal.
Halimah : “Isangka
abang dei gara-gara ni patkuon so tangis au..?!”
Aku : “Gara-gara ni aha
do?!!”
Halimah :”Adong na lobi
ancit bang! Namanyiak ate-ate niba ibaenca!!”
Aku : “Olo
aha?!!..lailalah, maolna dida dongan lalaho mandokonca”
Halimah terdiam
sejenak, air matanya menetes lagi dan dia menatapku dengan sorot mata yang
pilu.Dia mengambil nafas panjang dan menghembuskannya berlahan.
Halimah : “Isuru alak
umak au bang mangaranto!!..”
Mendengar perkataan
Halimah aku merasa dunia berhenti berputar, aku terdiam dan tak tau harus
bilang apa, seakan aku takpercaya.Detak jantungku menggebu-gebu seakan
genderang perang, ku coba untuk tak menitikkan air mata meski perih menyayat
jiwa.Ini bukanlah pertama kali sakit di hati dalam cinta, namun ini terasa
lebih dahsyat..lebih pilu.Ku coba tenangkan diri dengan mengambil nafas panjang
dan mengeluarkannya secara berlahan, sebelum perih menyayat hatiku lagi aku
memegang tangannya.
Aku : “Madung
mei,…ulangko tangis be pala na soni ma ning inanta inda namawai anggik
e!!..upainte pe anggik mulak ngun pandaraman!!”ternyata aku tak kuat dan
meneteskan air mata.
Halimah : “Marjanji ma
abang idakan na maninggalkon au..anggo au bang indakan na utinggalkoni abang
bope sondiana!!” dia tersedu-sedu.
Aku memeluknya dari
samping dan ku letakkan kepalanya di dadaku, kubiarkan dia menangis sepuasnya
dalam dekapanku.Tak terasa rembulan sudah tepat di atas kepala, aku menyuruhnya
bangkit.
Aku : “Jonjong maho
anggik e so mulak kita!, mulak ki ida non!..ku jia lakna anggik nagot langkai?!
“
Halimah : “Tu tano doli
bang!..”
Aku : “Oh..inda namawai
dabo anggik e,..pala madung lalu anggik di adu ulangko lupa mangirim surat
jiabang dah!!, pala adong epeng ni abang ro pe abang sasakali!”aku menghiburnya.
Halimah : “Olo bang..
utulis pe surat naron borngin di abang so ulehen cogot di si ida dohot
salendang dah bang!!..”
Aku : “Olo anggikku
sayang!!”
Kamipun meninggalkan
tempat itu dengan berat hati….
***